Sabtu, 18 April 2015

Psikologi Pendidikan : Aspek Psikologis Guru atau Konselor


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Di dalam dunia pendidikan seorang guru atau konselor merupakan salah satu dari masyarakat pendidikan yang menjadi sasaran dari tujuan pendidikan sehingga seorang guru atau konselor harus  mampu dalam membantu masalah-masalah dari siswa atau konseli. Sebagai seorang guru atau konselor maka wajib baginya untuk mempunyai sikap-sikap yang mencerminkan sebagai seorang konselor yang baik yakni kepercayaan, hormat, empati, menerima, keamanan, tulus, jujur, cakap dan kerahasiaan.
Maka dari itu seorang konselor harus mampu untuk beradap tasi sesuai dengan masalah atau keadaan siswa atau konselinya.
1.2  Rumusan Masalah
1.        Siapa itu konselor?
2.        Bagaimana sikap dasar, nilai dan etika seorang konselor?
3.        Bagaimana psikologis pada guru atau konselor?
1.3  Tujuan
1.        Untuk mengetahui siapa itu konselor
2.        Untuk mengetahui sikap dasar, nilai, dan etika seorang konselor
3.        Bagaimana psikologis pada guru atau konselor




BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Siapa Itu Konselor ?
                     Konselor dalam istilah bahasa inggris disebut counselor  atau helper merupakan petugas khusus yang berkualifikasi dalam bidang konseling (counseling). Dalam konsep counseling for all, di dalamnya terdapat kegiatan bimbingan (guidance). Kata coounselor tidak dapat dipisahkan dari kata helping. Counselor menunjuk pada profesinya dan bidang garapannya. Jadi konselor adalah seseorang yang memiliki keahlian dalam bidang pelayanan konseling, ia sebagai tenaga profesional.
                     Tenaga profesional ini disiapkan dan dihasilkan oleh program studi bimbingan dan konseling, jenjang S-1, S-2, dan S-3, termasuk pendidikan profesi di dalamnya. Ciri umum yang perlu dimiliki seorang konselor, ialah:
1.      Menaruh minat yang mendalam terhadap orang lain dan penyabar.
2.      Peka terhadap sikap dan tindakan orang lain.
3.      Memiliki kehidupan emosi yang stabil dan objektif.
4.      Memiliki kemampuan untuk dipercaya orang lain.
5.      Menghargai fakta.
Kemudian pada tahun 1964, Ikatan Konselor untuk Konseling dan Supervisi (Association for Counseling Education and Supervisi) menunujukkan bahwa seorang konselor harus memiliki sekelompok kualitas dasar kepribadian sebagai berikut :
1.      Percaya kepada setiap orang.
2.      Menghayati nila-nilai kemanuasian setiap individu.
3.      Peka terhadap dunia sekelilingnya.
4.      Sikap keterbukaan.
5.      Memahami diri sendiri.
6.      Menghayati profesionalitasnya.

2.2 Sikap Dasar, Nilai, dan Etika Seorang Konselor
A.    Sikap Dasar Konselor
a. Percaya
Memperoleh kepercayaan orang lain memerlukan waktu yang panjang sejalan dengan pergaulan antara diri kita dan orang yang bersangkutan di masa lalu dan masa mendatang. Ini juga bergantung pada situasi dan sifat dasar hubungan tersebut. Jelaslah bahwa masalah kepercayaan yang dipengaruhi  oleh agenda-agenda orang yang ditolong dan yang menolong. Ilustrasinya dapat dilihat pada kasus Roi di bawah ini.
Roi adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun. Beberapa waktu yang lalu, dia melanggar hukum karena memakai narkoba secara ilegal untuk mengatasi tekanan-tekanan dalam hidupnya. Dia terlilit banyak hutang dan merasa resah karena orang-orang yang menghutanginya berperangai jahat dan kasar. Salah seorang rekan kerja Roi, yakni Dani, mengkhawatirkan Roi yang sedang tertimpa masalah. Dani adalah  seorang yang kuat imannya dan menolak keras pemakaian narkoba. Ketika Dani mendekati Roi untuk mengajaknya berbicara, Roi mula-mula mengelak karena tidak mempercayainya. Dia menduga Dani mengajaknya pindah agama, meskipun Dani tidak bermaksud demikian.
Akhirnya, Dani berhasil mendapatkan kepercayaan Roi dan mampu menolongnya memecahkan masalah.
b.      Hormat
Sikap hormat berarti menghargai orang lain sebagai manusia yang mampu menemukan solusi-solusi atas persoalan-persoalannya sendiri, dan memandang positif kepadanya dengan asumsi bahwa terlepas dari apa yang dilakukannya, dia telah berbuat yang terbaik sesuai dengan kemampuannya.
Sikap hormat adalah menghargai orang sebagaimana adanya dan sebagai orang yang layak dihargai. Kata-kata “menghargai orang” mungkin sangat mudah diucapkan, tetapsebagai  praktiknya sulit. Dalam kasus Roi dan Dani di atas dapat dilihat, bagaimana seandainya Dani tidak menghargai Roi karena gaya hidup dan keyakinan yang berbeda. Hanya karena Dani dapat memaklumi perbedaan dan menghargai Roi, orang yang disebut terakhir ini mau berhubungan dengan Dani sedemikian rupa sehingga berbuah persahabatan yang indah.
c.       Empati
Rogers memkai kata “empati” untuk menyebut ciri hubungan yang positif, hangat, dan penuh kasih antara diri konselor dengan orang yang dibantu. Empati adalah sepenuhnya memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Sebagian orang menamsilkan sebuah hubungan empatik secara metaforis, yakni seperti berjalan dengan memakai sepatu orang lain. Kadang-kadang ketika seseorang mengisahkan masalah pribadinya, kita bisa membayangkan apa yang akan kita lihat dan bagaimana kita merasakan jika menjadi dia dan memakai sudut pandangnya. Jika dapat melakukannya, kita akan mampu membayangkan dan memahami dunianya dan sampai batas tertentu mengidentikkan diri dengannya.
Jika hubungan bersifat hangat, kasih, dan empatik maka orang yang dibantu akan merasa dihargai dan aman untuk berbagi masalah yang sangat pribadi. Hubungan semacam ini memungkinkan kita lebih mampu memahami sudut pandang orang tersebut dan secara tepat mengidentifikasi perasaan-perasaannya. Setelah kita berhubungan secara erat dan merasakan seolah-olah menjadi dirinya, dia niscaya akan bersikap serupa terhadap kita.




d.      Menerima
Jika kita menerima orang lain seperti apa adanya, kita sangat berpeluang untuk berhubungan erat dengannya secara sedemikian rupa sehingga dia berubah, tumbuh, dan berkembang menjadi sosok ideal yang diinginkannya sendiri. Sedangkan lawan dari sikap menerima adalah sikap kritis. Jika diperhatikan ketika seseorang dikritik, dia umumnya akan menolak untuk berubah dan justru menjadi semakin kental dengan pendapat dan perilakunya sendiri. Jika kita menerimanya, dia akan merasa dihargai, merasa nyaman, berpandangan positif terhadap pandangan kepribadiannya dan berkembang lebih maju.
e.       Aman
Untuk membantu orang lain, kita perlu menciptakan hubungan dengan lingkungan yang menjaminnya berbicara secara bebas. Dia tidak akan mau berbicara secara bebas dengan kita, kecuali dia merasa aman melakukannya. Misalnya: pada mulanya,  ketika berhubungan dengan Dani, Roi merasa khawatir untuk mengungkapkan masalahnya secara terbuka. Dia merasa tidak aman. Dia takut kalau Dani akan melaporkannya kepada polisi. Tentu saja, aspek keamanan ini berkaitan dengan kepercayaan. Jika Roi percaya kepada Dani, Roi merasa aman dan mau membicarakan masalahnya secara lebih bebas.
f.       Tulus
            Bantuan yang diberikan akan sangat berhasil, jika hubungan kita dengan orang yang dibantu mencirikan ketulusan. Jika kita memberikan bantuan secara tulus tanpa pamrih, niat kita akan bergayung sambut.
 Rogers mensyaratkan “sikap menghargai tanpa pamrih” bagi orang yang hendak memberikan bantuan. Ini berarti kita perlu menerima orang lain secara tulus dan memandangnya dengan sikap positif. Menerima orang lain secara tulus berarti tidak bersikap menghakimi. Kita perlu menyadari bahwa ketulusan tidak selalu tumbuh sepenuhnya dalam hati kita, tetapi niat tulus perlu terus dipupuk agar dapat membantu orang lain sebermanfaat mungkin. Maka kita sepatutnya menghindari penghakiman terhadap orang lain agar hubungan dengannya tidak terancam. Jika dia merasa dihakimi, dia akan bersikap tidak terbuka untuk mengungkapkan masalah-masalahnya kepada kita.
Dunia orang lain diwarnai dengan nilai, sikap, dan kepercayaannya sendiri, bukan milik kita. Kita mungkin sulit untuk memasuki kehidupannya, karena kita sering menghakimi nilai, sikap, dan kepercayaannya. Namun, kita perlu mencoba menyisihkan penghakiman semacam ini agar dia terdorong untuk mengungkapkan masalah-masalahnya.
Supaya efektif, ketika mendengarkannya kita berusaha menghindari penghakiman menurut benar-salah kita sendiri dan berusaha memfokuskan diri pada dunia sebagaimana dilihatnya. Jika kita tetap bersikap menghakimi dia, mungkin dia tidak akan berbicara secara bebas lagi. Dia menjadi khawatir dan tertekan sehingga kurang dapat memecahkan masalah-masalahnya secara memuaskan.   
g.      Jujur
           Ketika menolong orang lain, kita perlu bersikap jujur dan tidak dibuat-buat. Sebagian orang tergoda untuk mencoba mengubah kepribadiannya ketika membantu orang lain. Akan tetapi, mereka yang mencoba melakukannya jarang menuai keberhasilan. Sebab, orang yang dibantu tidak ingin ditipu dan mungkin akan menebak-nebak jika orang yang membantunya berpura-pura menjadi orang selain dirinya. Jika kita membantu orang lain, dia harus percaya kepada kita. Dia tidak akan percaya jika kita berpura-pura menjadi orang yang berbeda dari diri kita sesungguhnya. Dia menganggap kita tidak jujur. Maka kita perlu menjadi diri kita sendiri yang sebenarnya. Jika tidak demikian, kita tidak akan mampu membangun hubungan yang harmonis dan konsekuensinya orang yang kita bantu tidak akan percaya kepada kita.
h.      Cakap
         Kita tidak perlu memandang kualitas “cakap” begitu penting ketika membantu orang lain. Yang penting adalah dengan membuat orang lain yang kita bantu merasa dirinya sebagai orang yang cakap. Selain itu, kita perlu meyakini bahwa orang tersebut memiliki sumber-sumber batiniah untuk menyikapi masalahnya sendiri dan menemukan solusinya. Dia adalah seorang yang cakap ketika mampu menemukan solusi dan kemudian merasa lebih baik.
 Pengertian membantu orang adalah mengurai masalah-masalahnya, bukan mencarikan solusi-solusinya. Sehingga kita perlu menghargai kemampuan dan sumber-sumber batiniahnya. Kita mengandalkan dan mendorongnya untuk berinisiatif menemukan solusi. Peran kita hanyalah memudahkannya menempuh proses ini.
i.        Kerahasiaan
Kita perlu menghargai kerahasiaan orang yang kita bantu. Jika tidak, kita tidak akan dapat mengajak orang tersebut berbicara secara terbuka kepada kita karena dia takut kalau rahasianya diketahui banyak orang. Oleh karena itu, sebelum memulai pembicaraan sebaiknya kita memastikan bahwa kerahasiannya terjamin.

B.     Memegang Prinsip-prinsip Etika
            Karena hubungan yang bersifat membantu dan empati antara kita dan orang yang kita bantu akan berkembang lebih jauh, kita perlu menentukan batas-batas etika secara jelas. Meskipun kita perlu menjalin hubungan yang erat, batas-batas kedekatan ini semestinya jelas. Tanpa batas-batas yang jelas, bantuan kita tidak akan efektif.
             Ketika mulai berhubungan secara erat dengan orang yang kita bantu, kita mungkin tidak lagi dapat secara objektif menjaga jarak dan menelisik apa yang perlu dibicarakan untuk membantunya. Ini terdengar kontradiktif dengan anjuran untuk menjalin hubungan yang hangat, empatik, dan membantu. Dua hal ini sangat berbeda, yakni antara menjalin kedekatan dan menjaga jarak sedangkan kita tidak dapat melakukannya secara bersamaan.
            Dari dua hal di atas, melakukannya secara berselang-seling sangat bermanfaat. Pertama, kita menciptakan hubungan yang hangat, empatik, dan membantu. Kedua, kita menjaga jarak secara mental maupun emosional dari waktu ke waktu ketika percakapan sedang berlangsung. Yang kedua ini dilakukan untuk melihat kondisi orang yang kita bantu dan percakapan kita secara objektif, sehingga kita mengambil tindakan yang tepat dan membantunya.
           Ketika membantu orang lain, tidak tepat atau tidak akan bermanfaat jika kita   mengudar masalah kita sendiri atau bahkan membagi pengalaman serupa secara mendetail karena ini mengganggu. Tindakan ini juga dapat menimbulkan perasaan tidak mampu dan tidak berkompeten manakala dia mengetahui tidak sanggup untuk melakukan apa yang telah kita lakukan.
            Akibatnya, komunikasi yang seharusnya bersifat dua arah untuk membantu justru berlangsung searah. Membatasi diri untuk tidak banyak menceritakan pengalaman sendiri akan menumbuhkan perasaan positif orang yang dibantu terhadap dirinya sendiri dan komunikasi yang sedang berlangsung.   
          Konseling dipraktik menurut seperangkat aturan dan pedoman yang disusun oleh lembaga-lembaga profesional untuk menentukan standar dan tingkat akreditasi kompetensi minimum. dan tingkat akreditasi kompetensi minimum. Konselor terikat dengan kode etik yang menggariskan perlunya konselor menghargai nilai, pengalaman, pandangan, perasaan, dan kemampuan klien untuk menentukan diri sendiri (Guidelines for those Using Counselling Skills in their Work [1999] Asosiaso Konselor dan Ahli Psikoterapi Inggris [AKAPI ). Di samping itu, konselor terikat dengan kode etik yang menekankan pentingnya batas-batas hubungan konselor-klien, sifat hubungan mereka, dan tujuan aktivitas konseling.    

2.3 Aspek Psikologis pada Guru/Konselor
A. Karakteristik Kepribadian Guru/ Konselor
            Menurut tinjauan psikologi, kepribadian pada prinsipnya adalah susunan atau kesatuan aspek perilaku mental (pikiran, perasaan, dan sebagainya) dengan aspek perilaku behavioral (perbuatan nyata). Aspek-aspek ini berkaitan secara fungsional dalam diri seorang individu, sehingga membuatnya bertingkah laku secara khas dan tetap (Reber,1988). Dari perilaku psiko-fisik (rohani-jasmani) yang khas dan menetap tersebut muncul julukan-julukan yang bermaksud menggambarkan kepribadian seseorang, seperti: Pak Amin jujur, Si Kaslan pemalas, dan sebagainya.
            Kepribadian adalah yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru sebagai pengembang sumber daya manusia. Hal ini karena di samping guru berperan sebagai  pembimbing dan pembantu, guru juga berperan sebagai panutan.
            Mengenai pentingnya kepribadian guru, seorang psikolog terkemuka, Profesor Doktor  Zakiah Daradjat (1982) menegaskan:
“Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).”
            Oleh karena itu, setiap calon guru dan guru prosfesional sangat diharapkan memahami karakteristik (cirri khas) kepribadian dirinya yang diperlukan sebagai panutan para siswanya.
            Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya adalah meliputi: 1) fleksibilitas kognitif; 2) keterbukaan psikologis. Untuk lebih jelasnya, dua ciri khas kepribadian tersebut akan diuraikan secukupnya berikut ini.

1.      Fleksibilitas Kognitif Guru
Fleksibilitas kognitif (keluwesan ranah cipta) merupakan kemampuan berpikir yang diikutti dengan tindakan yang memadai dalam situasi tertentu. Kebalikannya adalah frigiditas kognitif atau kekakuan ranah cipta yang ditandai dengan kekurangmampuan berpikir dan bertindak yang sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan keterbukaan fleksibel dan beradaptasi. Selain itu, ia juga memiliki resistensi (daya tahan) terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur (terlampau dini) dalam pengamatan dan pengenalan. Ketika mengamati dan mengenali suatu objek atau situasi tertentu, seorang guru yang fleksibel selalu berpikir kritis. Berpikir kritis (critical thinking) ialah berpikir dengan penuh pertimbangan akal sehat yang dipusatkan pada pengambilan keputusan untuk memercayai atau mengingkari sesuatu, dan melakukan atau menghindari sesuatu (Heger & Kaye, 1990).
Dalam Proses Mengajar Belajar, fleksibilitas kognitif guru terdiri atas tiga dimensi yakni :
a)      Dimensi karakteristik pribadi guru ;
b)      Dimensi sikap kognitif guru terhadap siswa ; dan
c)      Dimensi sikap kognitif guru terhadap materi pelajaran dan metode mengajar.
Selanjutnya, mengenai perbedaan karakteristik dan sikap guru yang luwes dengan karakteristik dan sikap guru yang kaku akan disajikan dalam bentuk tabel. Tabel-tabel ini bersumber dari Daradjat (1982), Surya (1982), Burns (1991), dan Petty (2004).
Tabel 1
Karakteristik Kognitif Pribadi Guru
Ciri Perilaku Kognitif Guru
Guru Luwes
Guru Kaku
1.      Menunjukkan keterbukaan dalam perencanaan kegiatan mengajar-belajar.
1.Tampak terlampau dikuasai oleh rencana pelajaran, sehingga alokasi waktu sangat kaku
2.      Menjadikan materi pelajaran berguna bagi kehidupan nyata siswa.
2.Tak mampu memodifikasi silabus
3.      Mempertimbangkan berbagai alternatif cara mengkomunikasikan isi pelajaran kepada siswa.
3.Tak mampu menangani hal yang terjadi secara tiba-tiba ketika pengajaran berlangsung.
4.      Mampu merencanakan sesuatu dalam keadaan mendesak.
4.Terpaku pada aturan yang berlaku meskipun kurang relevan.
5.      Dapat menggunakan humor secara proporsional dalam menciptakan situasi PMB yang menarik.
5.Terpaku pada isi materi dan metode yang baku sehingga situasi PMB monoton dan membosankan.

TABEL 2
Sikap Konitif Guru terhadap Siwa
Ciri Sikap Kognitif Guru
Guru Luwes
Guru Kaku
1.      Menunjukkan perilaku demokratis dan tenggang rasa kepada semua siswa.
1.Terlalu memperhatikan siswa yang pandai dan mengabaikan siswa yang lamban.
2.      Responsif terhadap kelas (mau melihat, mendengar dan merespons masalah disiplin, kesulitan belajar, dsb).
2.Tidak mampu/tidak mau mencatat isyarat adanya masalah dlam PMB.
3.      Memandang siswa sebagai mitra dalam PMB.
3.Memandang siswa sebagai objek yang berstatus rendah.
4.      Menilai siswa berdasarkan faktor-faktor yang memadai.
4.Menilai siswa secara serampangan.
5.      Berkesinambungan dalam menggunakan ganjaran dan hukuman sesui dengan panampilan siswa.
5.Lebih banyak menghukum dan kurang memberikan ganjarannn yang memadai atas prestasi yang dicapai siswa.




TABEL 3
Sikap Kognitif Guru terhadap Materi dan Metode
Ciri Sika Kognitif Guru
Guru Luwes
Guru Kaku
1.      Menyusun dan menyajikan materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
1.Terikat pada isi silabus tanpa mempertimbangkan kebutuhan siswa yang dihadapi.
2.      Menggunakan macam-macam metode yang relevan secara kreatif sesui dengan sifat materi.
2.Terpaku pada satu atau dua metode mengajar tanpa memperhatikan kesesuainnya dengan materi pelajaran.
3.      Luwes dalam melaksanakan rencana dan selalu berusaha mencari pengajaran yang efektif.
3.Terikat hanya pada satu atau dua format dalam merencanakan pengajaran.
4.      Pendekatan pengajarannya lebih problematik, sehingga siswa terdorong untuk berfikir.
4.Pendekatan pengajarannya lebih prespektif (perintah/hanya memberi petunjuk atau ketentuan).

2.      Keterbukaan Psikologis Kepribadian Guru atau Konselor
            Hasil lain juga dapat menjadi faktor yang turut menentukan keberhasilan seorang guru atau konselor adalah keterbukaan psikologis guru atau konselor. Guru atau konselor yang terbuka biasanya ditandai dengan kesediaannya yang relatif tinggi untuk mengkomunukasiakan dirinya dengan faktor-faktor eksteren antara lain siswa, teman dekat, dan lingkungan pendidikan tempatnya bekerja. Ia mau menerima kritik dengan iklhas. Di samping itu ia juga memiliki empati (empathy), yakni respons afektid terhadap pengalaman emosional dan perasaan tertentu orang lain (Reber, 1988). Jika salah seorang muridnya diketahui sedang mengalami kemalangan, umpamanya, maka ia turut bersedih dan menunjukkan simpati serta  berusaha memberi jalan keluar.


            Keterbukaan psikologis sangat penting mengingat guru atau konselor sebagai anutan siswa. Adapun kecenderungan dalam keterbukaan psikologi guru adalah :
1.      Pertama
Keterbukaan psikologis merupakan prakondisi atau prasyarat penting yang perlu dimiliki guru untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain.
2.      Kedua
Keterbukaan psikologis diperlukan untuk menciptakan suasana hubungan antarpribadi guru dan siswa yang harmonis, sehingga mendorong siswa untuk mengembangkan dirinya secara bebas dan tanpa ganjalan.
            Di tinjau dari sudut signifikannya, keterbukaannya pikologis merupakan karakateristik kepribadian yang penting bagi guru dalam hubungan sebagai direktur belajar (direction of learning) selain sebagai anutan siswanya. Oleh karena itu, hanya guru yang memiliki keterbukaan psikologis yang benar-benar dapat diharapkan berhasil dalam mengelola proses mengajar-belajar. Optimisme ini muncul karena guru yang terbuka dapat lebih terbuka dalam berfikir dan bertindak sesuai dengan kebutuhan para siswanya, bukan hanya kebutuhan guru itu sendiri.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dipaparkan dalam makalah ini, maka kami dapat menyimpulkan bahwa setiap konselor harus memiliki sikap dasar seperti percaya, hormat, empati, aman, tulus, dll. Dalam psikologi konselor yang paling di perhatikan adalah fleksibiltas dan keterbukaan guru atau konselor itu sendiri., agar guru dapat bersikap luwes kepada siswanya dan tidak menjadi guru yang kaku. Dalam keterbukaannya pikologis merupakan karakateristik kepribadian yang penting bagi guru dalam hubungan sebagai direktur belajar (direction of learning) selain sebagai anutan siswanya. Oleh karena itu, hanya guru yang memiliki keterbukaan psikologis yang benar-benar dapat diharapkan berhasil dalam mengelola proses mengajar-belajar.

3.2  Saran-Saran
              Dengan disusunnya makalah ini diharapkan pembaca dapat lebih mehami aspek-aspek psikologis yang terdapat dalam diri konselor.

 
DAFTAR RUJUKAN

Gerald, Kathryn.2008.Membantu Memecahkan Masalah Orang Lain Dengan Teknik Konseling.Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Gunarsa, Singgih D.2010.Konseling dan Psikoterapi.Jakarta:BPK Gunung Mulia
Hartanto, Boy Soedarmadji.2012.Psikologi Konseling.Surabaya:Kencana
Syah, Muhibbin.2010.Psikologi Pendidikan.Bandung:Remaja Rosdakarya

download versi ms world :
Aspek_Psikologis_Guru


Tidak ada komentar:

Posting Komentar