BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Di dalam dunia pendidikan seorang
guru atau konselor merupakan salah satu dari masyarakat pendidikan yang menjadi
sasaran dari tujuan pendidikan sehingga seorang guru atau konselor harus mampu dalam membantu masalah-masalah dari
siswa atau konseli. Sebagai seorang guru atau konselor maka wajib baginya untuk
mempunyai sikap-sikap yang mencerminkan sebagai seorang konselor yang baik
yakni kepercayaan, hormat, empati, menerima, keamanan, tulus, jujur, cakap dan
kerahasiaan.
Maka dari itu seorang konselor
harus mampu untuk beradap tasi sesuai dengan masalah atau keadaan siswa atau
konselinya.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Siapa itu konselor?
2.
Bagaimana sikap dasar,
nilai dan etika seorang konselor?
3.
Bagaimana psikologis
pada guru atau konselor?
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui siapa
itu konselor
2.
Untuk mengetahui sikap
dasar, nilai, dan etika seorang konselor
3.
Bagaimana psikologis
pada guru atau konselor
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Siapa Itu Konselor ?
Konselor dalam istilah bahasa
inggris disebut counselor atau helper
merupakan petugas khusus yang berkualifikasi dalam bidang konseling
(counseling). Dalam konsep counseling for all, di dalamnya terdapat kegiatan
bimbingan (guidance). Kata coounselor tidak dapat dipisahkan dari kata helping.
Counselor menunjuk pada profesinya dan bidang garapannya. Jadi konselor adalah
seseorang yang memiliki keahlian dalam bidang pelayanan konseling, ia sebagai
tenaga profesional.
Tenaga profesional ini disiapkan dan dihasilkan
oleh program studi bimbingan dan konseling, jenjang S-1, S-2, dan S-3, termasuk
pendidikan profesi di dalamnya. Ciri umum yang perlu dimiliki seorang konselor,
ialah:
1.
Menaruh minat yang mendalam terhadap orang lain dan penyabar.
2.
Peka terhadap sikap dan tindakan orang lain.
3.
Memiliki kehidupan emosi yang stabil dan objektif.
4.
Memiliki kemampuan untuk dipercaya orang lain.
5.
Menghargai fakta.
Kemudian pada tahun 1964,
Ikatan Konselor untuk Konseling dan Supervisi (Association for Counseling
Education and Supervisi) menunujukkan bahwa seorang konselor harus memiliki
sekelompok kualitas dasar kepribadian sebagai berikut :
1.
Percaya kepada setiap orang.
2.
Menghayati nila-nilai kemanuasian setiap individu.
3.
Peka terhadap dunia sekelilingnya.
4.
Sikap keterbukaan.
5.
Memahami diri sendiri.
6.
Menghayati profesionalitasnya.
2.2 Sikap Dasar, Nilai, dan Etika Seorang Konselor
A. Sikap
Dasar Konselor
a. Percaya
Memperoleh kepercayaan orang lain
memerlukan waktu yang panjang sejalan dengan pergaulan antara diri kita dan
orang yang bersangkutan di masa lalu dan masa mendatang. Ini juga bergantung
pada situasi dan sifat dasar hubungan tersebut. Jelaslah bahwa masalah
kepercayaan yang dipengaruhi oleh
agenda-agenda orang yang ditolong dan yang menolong. Ilustrasinya dapat dilihat
pada kasus Roi di bawah ini.
Roi adalah seorang pemuda berusia
dua puluh tahun. Beberapa waktu yang lalu, dia melanggar hukum karena memakai
narkoba secara ilegal untuk mengatasi tekanan-tekanan dalam hidupnya. Dia
terlilit banyak hutang dan merasa resah karena orang-orang yang menghutanginya
berperangai jahat dan kasar. Salah seorang rekan kerja Roi, yakni Dani,
mengkhawatirkan Roi yang sedang tertimpa masalah. Dani adalah seorang yang kuat imannya dan menolak keras
pemakaian narkoba. Ketika Dani mendekati Roi untuk mengajaknya berbicara, Roi mula-mula
mengelak karena tidak mempercayainya. Dia menduga Dani mengajaknya pindah
agama, meskipun Dani tidak bermaksud demikian.
Akhirnya, Dani berhasil mendapatkan
kepercayaan Roi dan mampu menolongnya memecahkan masalah.
b. Hormat
Sikap hormat berarti menghargai
orang lain sebagai manusia yang mampu menemukan solusi-solusi atas
persoalan-persoalannya sendiri, dan memandang positif kepadanya dengan asumsi
bahwa terlepas dari apa yang dilakukannya, dia telah berbuat yang terbaik sesuai
dengan kemampuannya.
Sikap hormat adalah menghargai
orang sebagaimana adanya dan sebagai orang yang layak dihargai. Kata-kata
“menghargai orang” mungkin sangat mudah diucapkan, tetapsebagai praktiknya sulit. Dalam kasus Roi dan Dani di
atas dapat dilihat, bagaimana seandainya Dani tidak menghargai Roi karena gaya
hidup dan keyakinan yang berbeda. Hanya karena Dani dapat memaklumi perbedaan
dan menghargai Roi, orang yang disebut terakhir ini mau berhubungan dengan Dani
sedemikian rupa sehingga berbuah persahabatan yang indah.
c. Empati
Rogers memkai kata “empati” untuk
menyebut ciri hubungan yang positif, hangat, dan penuh kasih antara diri
konselor dengan orang yang dibantu. Empati adalah sepenuhnya memahami dan
merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Sebagian orang menamsilkan sebuah
hubungan empatik secara metaforis, yakni seperti berjalan dengan memakai sepatu
orang lain. Kadang-kadang ketika seseorang mengisahkan masalah pribadinya, kita
bisa membayangkan apa yang akan kita lihat dan bagaimana kita merasakan jika
menjadi dia dan memakai sudut pandangnya. Jika dapat melakukannya, kita akan
mampu membayangkan dan memahami dunianya dan sampai batas tertentu
mengidentikkan diri dengannya.
Jika hubungan bersifat hangat,
kasih, dan empatik maka orang yang dibantu akan merasa dihargai dan aman untuk
berbagi masalah yang sangat pribadi. Hubungan semacam ini memungkinkan kita
lebih mampu memahami sudut pandang orang tersebut dan secara tepat
mengidentifikasi perasaan-perasaannya. Setelah kita berhubungan secara erat dan
merasakan seolah-olah menjadi dirinya, dia niscaya akan bersikap serupa
terhadap kita.
d.
Menerima
Jika kita menerima orang lain
seperti apa adanya, kita sangat berpeluang untuk berhubungan erat dengannya
secara sedemikian rupa sehingga dia berubah, tumbuh, dan berkembang menjadi
sosok ideal yang diinginkannya sendiri. Sedangkan lawan dari sikap menerima
adalah sikap kritis. Jika diperhatikan ketika seseorang dikritik, dia umumnya
akan menolak untuk berubah dan justru menjadi semakin kental dengan pendapat
dan perilakunya sendiri. Jika kita menerimanya, dia akan merasa dihargai,
merasa nyaman, berpandangan positif terhadap pandangan kepribadiannya dan
berkembang lebih maju.
e.
Aman
Untuk membantu orang lain, kita
perlu menciptakan hubungan dengan lingkungan yang menjaminnya berbicara secara
bebas. Dia tidak akan mau berbicara secara bebas dengan kita, kecuali dia
merasa aman melakukannya. Misalnya: pada mulanya, ketika berhubungan dengan Dani, Roi merasa khawatir
untuk mengungkapkan masalahnya secara terbuka. Dia merasa tidak aman. Dia takut
kalau Dani akan melaporkannya kepada polisi. Tentu saja, aspek keamanan ini
berkaitan dengan kepercayaan. Jika Roi percaya kepada Dani, Roi merasa aman dan
mau membicarakan masalahnya secara lebih bebas.
f.
Tulus
Bantuan yang diberikan akan sangat berhasil,
jika hubungan kita dengan orang yang dibantu mencirikan ketulusan. Jika kita
memberikan bantuan secara tulus tanpa pamrih, niat kita akan bergayung sambut.
Rogers mensyaratkan “sikap menghargai tanpa
pamrih” bagi orang yang hendak memberikan bantuan. Ini berarti kita perlu menerima orang lain secara tulus
dan memandangnya dengan sikap positif. Menerima orang lain secara tulus berarti
tidak bersikap menghakimi. Kita perlu menyadari bahwa ketulusan tidak selalu
tumbuh sepenuhnya dalam hati kita, tetapi niat tulus perlu terus dipupuk agar
dapat membantu orang lain sebermanfaat mungkin. Maka
kita sepatutnya menghindari penghakiman terhadap orang lain agar hubungan
dengannya tidak terancam. Jika dia merasa dihakimi, dia akan bersikap tidak
terbuka untuk mengungkapkan masalah-masalahnya kepada kita.
Dunia orang lain diwarnai dengan
nilai, sikap, dan kepercayaannya sendiri, bukan milik kita. Kita mungkin sulit
untuk memasuki kehidupannya, karena kita sering menghakimi nilai, sikap, dan
kepercayaannya. Namun, kita perlu mencoba menyisihkan penghakiman semacam ini
agar dia terdorong untuk mengungkapkan masalah-masalahnya.
Supaya efektif, ketika
mendengarkannya kita berusaha menghindari penghakiman menurut benar-salah kita
sendiri dan berusaha memfokuskan diri pada dunia sebagaimana dilihatnya. Jika
kita tetap bersikap menghakimi dia, mungkin dia tidak akan berbicara secara
bebas lagi. Dia menjadi khawatir dan tertekan sehingga kurang dapat memecahkan
masalah-masalahnya secara memuaskan.
g.
Jujur
Ketika
menolong orang lain, kita perlu bersikap jujur dan tidak dibuat-buat. Sebagian
orang tergoda untuk mencoba mengubah kepribadiannya ketika membantu orang lain.
Akan tetapi, mereka yang mencoba melakukannya jarang menuai keberhasilan.
Sebab, orang yang dibantu tidak ingin ditipu dan mungkin akan menebak-nebak
jika orang yang membantunya berpura-pura menjadi orang selain dirinya. Jika
kita membantu orang lain, dia harus percaya kepada kita. Dia tidak akan percaya
jika kita berpura-pura menjadi orang yang berbeda dari diri kita sesungguhnya.
Dia menganggap kita tidak jujur. Maka kita perlu menjadi diri kita sendiri yang
sebenarnya. Jika tidak demikian, kita tidak akan mampu membangun hubungan yang
harmonis dan konsekuensinya orang yang kita bantu tidak akan percaya kepada
kita.
h.
Cakap
Kita
tidak perlu memandang kualitas “cakap” begitu penting ketika membantu orang
lain. Yang penting adalah dengan membuat orang lain yang kita bantu merasa
dirinya sebagai orang yang cakap. Selain itu, kita perlu meyakini bahwa orang
tersebut memiliki sumber-sumber batiniah untuk menyikapi masalahnya sendiri dan
menemukan solusinya. Dia adalah seorang yang cakap ketika mampu menemukan
solusi dan kemudian merasa lebih baik.
Pengertian membantu orang adalah mengurai
masalah-masalahnya, bukan mencarikan solusi-solusinya. Sehingga kita perlu
menghargai kemampuan dan sumber-sumber batiniahnya. Kita mengandalkan dan
mendorongnya untuk berinisiatif menemukan solusi. Peran kita hanyalah memudahkannya
menempuh proses ini.
i.
Kerahasiaan
Kita perlu menghargai kerahasiaan
orang yang kita bantu. Jika tidak, kita tidak akan dapat mengajak orang
tersebut berbicara secara terbuka kepada kita karena dia takut kalau rahasianya
diketahui banyak orang. Oleh karena itu, sebelum memulai pembicaraan sebaiknya
kita memastikan bahwa kerahasiannya terjamin.
B.
Memegang Prinsip-prinsip
Etika
Karena hubungan yang bersifat membantu dan
empati antara kita dan orang yang kita bantu akan berkembang lebih jauh, kita
perlu menentukan batas-batas etika secara jelas. Meskipun kita perlu menjalin
hubungan yang erat, batas-batas kedekatan ini semestinya jelas. Tanpa
batas-batas yang jelas, bantuan kita tidak akan efektif.
Ketika mulai berhubungan secara erat
dengan orang yang kita bantu, kita mungkin tidak lagi dapat secara objektif
menjaga jarak dan menelisik apa yang perlu dibicarakan untuk membantunya. Ini
terdengar kontradiktif dengan anjuran untuk menjalin hubungan yang hangat,
empatik, dan membantu. Dua hal ini sangat berbeda, yakni antara menjalin
kedekatan dan menjaga jarak sedangkan kita tidak dapat melakukannya secara
bersamaan.
Dari dua hal di atas, melakukannya
secara berselang-seling sangat bermanfaat. Pertama, kita menciptakan
hubungan yang hangat, empatik, dan membantu. Kedua, kita menjaga jarak
secara mental maupun emosional dari waktu ke waktu ketika percakapan sedang
berlangsung. Yang kedua ini dilakukan untuk melihat kondisi orang yang kita
bantu dan percakapan kita secara objektif, sehingga kita mengambil tindakan
yang tepat dan membantunya.
Ketika membantu orang lain, tidak
tepat atau tidak akan bermanfaat jika kita
mengudar masalah kita sendiri atau bahkan membagi pengalaman serupa
secara mendetail karena ini mengganggu. Tindakan ini juga dapat menimbulkan
perasaan tidak mampu dan tidak berkompeten manakala dia mengetahui tidak
sanggup untuk melakukan apa yang telah kita lakukan.
Akibatnya, komunikasi
yang seharusnya bersifat dua arah untuk membantu justru berlangsung searah.
Membatasi diri untuk tidak banyak menceritakan pengalaman sendiri akan
menumbuhkan perasaan positif orang yang dibantu terhadap dirinya sendiri dan
komunikasi yang sedang berlangsung.
Konseling dipraktik menurut seperangkat
aturan dan pedoman yang disusun oleh lembaga-lembaga profesional untuk menentukan
standar dan tingkat akreditasi kompetensi minimum. dan tingkat akreditasi
kompetensi minimum. Konselor terikat dengan kode etik yang menggariskan perlunya
konselor menghargai nilai, pengalaman, pandangan, perasaan, dan kemampuan klien
untuk menentukan diri sendiri (Guidelines for those Using Counselling Skills
in their Work [1999] Asosiaso Konselor dan Ahli Psikoterapi Inggris [AKAPI ).
Di samping itu, konselor terikat dengan kode etik yang menekankan pentingnya
batas-batas hubungan konselor-klien, sifat hubungan mereka, dan tujuan
aktivitas konseling.
2.3 Aspek
Psikologis pada Guru/Konselor
A.
Karakteristik Kepribadian Guru/ Konselor
Menurut tinjauan psikologi,
kepribadian pada prinsipnya adalah susunan atau kesatuan aspek perilaku mental
(pikiran, perasaan, dan sebagainya) dengan aspek perilaku behavioral (perbuatan
nyata). Aspek-aspek ini berkaitan secara fungsional dalam diri seorang
individu, sehingga membuatnya bertingkah laku secara khas dan tetap
(Reber,1988). Dari perilaku psiko-fisik (rohani-jasmani) yang khas dan menetap
tersebut muncul julukan-julukan yang bermaksud menggambarkan kepribadian
seseorang, seperti: Pak Amin jujur, Si Kaslan pemalas, dan sebagainya.
Kepribadian adalah yang sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru sebagai pengembang sumber daya
manusia. Hal ini karena di samping guru berperan sebagai pembimbing dan pembantu, guru juga berperan
sebagai panutan.
Mengenai pentingnya kepribadian
guru, seorang psikolog terkemuka, Profesor Doktor Zakiah Daradjat (1982) menegaskan:
“Kepribadian
itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik
bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari
depan anak didik terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah
dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).”
Oleh karena itu, setiap calon guru
dan guru prosfesional sangat diharapkan memahami karakteristik (cirri khas)
kepribadian dirinya yang diperlukan sebagai panutan para siswanya.
Karakteristik kepribadian yang
berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya adalah meliputi:
1) fleksibilitas kognitif; 2) keterbukaan psikologis. Untuk lebih jelasnya, dua
ciri khas kepribadian tersebut akan diuraikan secukupnya berikut ini.
1. Fleksibilitas
Kognitif Guru
Fleksibilitas kognitif (keluwesan ranah cipta)
merupakan kemampuan berpikir yang diikutti dengan tindakan yang memadai dalam
situasi tertentu. Kebalikannya adalah frigiditas kognitif atau kekakuan ranah
cipta yang ditandai dengan kekurangmampuan berpikir dan bertindak yang sesuai
dengan situasi yang dihadapi.
Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan
keterbukaan fleksibel dan beradaptasi. Selain itu, ia juga memiliki resistensi
(daya tahan) terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur (terlampau dini)
dalam pengamatan dan pengenalan. Ketika
mengamati dan mengenali suatu objek atau situasi tertentu, seorang guru yang
fleksibel selalu berpikir kritis. Berpikir kritis (critical thinking)
ialah berpikir dengan penuh pertimbangan akal sehat yang dipusatkan pada
pengambilan keputusan untuk memercayai atau mengingkari sesuatu, dan melakukan
atau menghindari sesuatu (Heger & Kaye, 1990).
Dalam Proses Mengajar Belajar, fleksibilitas kognitif
guru terdiri atas tiga dimensi yakni :
a)
Dimensi
karakteristik pribadi guru ;
b)
Dimensi
sikap kognitif guru terhadap siswa ; dan
c)
Dimensi
sikap kognitif guru terhadap materi pelajaran dan metode mengajar.
Selanjutnya, mengenai perbedaan karakteristik dan sikap
guru yang luwes dengan karakteristik dan sikap guru yang kaku akan disajikan
dalam bentuk tabel. Tabel-tabel ini bersumber dari
Daradjat (1982), Surya (1982), Burns (1991), dan Petty (2004).
Tabel
1
Karakteristik
Kognitif Pribadi Guru
Ciri Perilaku Kognitif Guru
|
TABEL 2
Sikap Konitif Guru terhadap Siwa
Ciri Sikap Kognitif Guru
|
TABEL 3
Sikap Kognitif Guru terhadap Materi dan Metode
Ciri Sika Kognitif Guru
|
2.
Keterbukaan Psikologis Kepribadian Guru atau Konselor
Hasil
lain juga dapat menjadi faktor yang turut menentukan keberhasilan seorang guru
atau konselor adalah keterbukaan psikologis guru atau konselor. Guru atau
konselor yang terbuka biasanya ditandai dengan kesediaannya yang relatif tinggi
untuk mengkomunukasiakan dirinya dengan faktor-faktor eksteren antara lain
siswa, teman dekat, dan lingkungan pendidikan tempatnya bekerja. Ia mau
menerima kritik dengan iklhas. Di samping itu ia juga memiliki empati
(empathy), yakni respons afektid terhadap pengalaman emosional dan perasaan
tertentu orang lain (Reber, 1988). Jika salah seorang muridnya diketahui sedang
mengalami kemalangan, umpamanya, maka ia turut bersedih dan menunjukkan simpati
serta berusaha memberi jalan keluar.
Keterbukaan
psikologis sangat penting mengingat guru atau konselor sebagai anutan siswa.
Adapun kecenderungan dalam keterbukaan psikologi guru adalah :
1.
Pertama
Keterbukaan
psikologis merupakan prakondisi atau prasyarat penting yang perlu dimiliki guru
untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain.
2.
Kedua
Keterbukaan
psikologis diperlukan untuk menciptakan suasana hubungan antarpribadi guru dan
siswa yang harmonis, sehingga mendorong siswa untuk mengembangkan dirinya
secara bebas dan tanpa ganjalan.
Di
tinjau dari sudut signifikannya, keterbukaannya pikologis merupakan
karakateristik kepribadian yang penting bagi guru dalam hubungan sebagai
direktur belajar (direction of learning) selain sebagai anutan siswanya. Oleh
karena itu, hanya guru yang memiliki keterbukaan psikologis yang benar-benar
dapat diharapkan berhasil dalam mengelola proses mengajar-belajar. Optimisme
ini muncul karena guru yang terbuka dapat lebih terbuka dalam berfikir dan
bertindak sesuai dengan kebutuhan para siswanya, bukan hanya kebutuhan guru itu
sendiri.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dipaparkan dalam makalah
ini, maka kami dapat menyimpulkan bahwa
setiap konselor harus memiliki sikap dasar seperti percaya, hormat, empati,
aman, tulus, dll. Dalam psikologi konselor yang paling di perhatikan adalah
fleksibiltas dan keterbukaan guru atau konselor itu sendiri., agar guru dapat
bersikap luwes kepada siswanya dan tidak menjadi guru yang kaku. Dalam
keterbukaannya pikologis merupakan karakateristik kepribadian yang penting bagi
guru dalam hubungan sebagai direktur belajar (direction of learning) selain
sebagai anutan siswanya. Oleh karena itu, hanya guru yang memiliki keterbukaan
psikologis yang benar-benar dapat diharapkan berhasil dalam mengelola proses
mengajar-belajar.
3.2
Saran-Saran
Dengan disusunnya makalah ini diharapkan pembaca
dapat lebih mehami aspek-aspek
psikologis yang terdapat dalam diri konselor.
DAFTAR RUJUKAN
Gerald, Kathryn.2008.Membantu
Memecahkan Masalah Orang Lain Dengan Teknik Konseling.Yogyakarta:Pustaka
Pelajar
Gunarsa, Singgih
D.2010.Konseling dan Psikoterapi.Jakarta:BPK Gunung Mulia
Hartanto, Boy
Soedarmadji.2012.Psikologi Konseling.Surabaya:Kencana
Syah,
Muhibbin.2010.Psikologi Pendidikan.Bandung:Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar